AMERTA 32 nomor 1

Migrasi Austronesia dan lmplikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia Oleh: Sofwan Noerwidi, Balai Arkeologi Yogyakarta Pada saat masyarakat penutur bahasa Austronesia datang di Kepulauan Indonesia, kawasan ini bukanlah suatu daerah kosong tidak berpenghuni. Beberapa pulau di Kepu...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Authors: Noerwidi, Sofwan (Author), Indradjaja, Agustijanto (Author), Mansyur, Syahruddin (Author), lnagurasi, Libra Hari (Author), Sulistyanto, Bambang (Author)
Format: Academic Paper
Published: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 2014-06.
Subjects:
Online Access:Get Fulltext
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Description
Summary:Migrasi Austronesia dan lmplikasinya Terhadap Perkembangan Budaya di Kepulauan Indonesia Oleh: Sofwan Noerwidi, Balai Arkeologi Yogyakarta Pada saat masyarakat penutur bahasa Austronesia datang di Kepulauan Indonesia, kawasan ini bukanlah suatu daerah kosong tidak berpenghuni. Beberapa pulau di Kepulauan Indonesia telah dihuni oleh populasi lain. Akibat adanya kontak antar­komunitas tersebut mengakibatkan proses adaptasi, inovasi, dan interaksi budaya yang khas sebagaimana tercermin pada perkembangan teknologi alat kerang, teknologi pelayaran dan domestikasi hewan yang dikuasai masyarakat penutur bahasaAustronesia. Tahapan proses migrasi masyarakat penutur bahasaAustronesia di Kepulauan Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut: terjadi intrusi budaya baru di Kepulauan Indonesia yang dibawa oleh Austronesia. Akibat dari peristiwa tersebut, terjadi perkembangan budaya Neolitik di Kepulauan Indonesia, disebabkan oleh adaptasi, evolusi dan interaksi antara masyarakat pendatang Austronesia dengan komunitas Non-Austronesia yang telah menghuni kawasan ini sejak masa sebelumnya. Interaksi antar-budaya yang intensif menyebabkan integrasi budaya Austronesia dan N on-Austronesia di Kepulauan Indonesia. Early Traces Hindu-Buddhist Influence Along The North Coast of Central Java: Archaeological Survey of The District of Batang Oleh: Agustijanto lndradjaja (Pusat Arkeologi Nasiona); Veronique Degroot (Ecole Franr;aise d 'Extreme-Orient) In Coastal Central Java, archaeological research dealing with the Hindu-Buddhist period is almost always focused on the coastal area between Kedu and Yogyakarta, which was controlled by the Mata.ram Kingdom around the 8-9'h Century AD. Research that attempts to investigate and reconstruct the social conditions of coastal communities during the pre-Mata.ram period has yet to be undertaken. This paper is such an attempt. It explores Hindu-Buddhist remains in the Batang District, a district which, we believe, was an important entry point for Hindu-Buddhist traditions prior to the emergence of the Mata.ram Kingdom in the hinterland of Central Java. Data collected through the survey, further archaeological data relevant will be conducted descriptive analysis to answer questions in the study. The survey results have identified a number of important findings such as statues, temples and inscriptions ranging from coastal areas to inland Batang. Based on the identification of a number of archaeological findings it apparent that the area in Batang already appear influence of Hindu-Buddhist long before the emergence of the ancient Mata.ram Kingdom around the 81h Century AD. Jejak VOC-Kolonial Belanda di Pulau Buru (Abad 17-20 M.) Oleh: Syahruddin Mansyur, Balai Arkeologi Ambon Salah satu wilayah yang mendapat pengaruh kolonial di Kepulauan Maluku adalah Pulau Buro, ditandai dengan pendirian sebuah benteng pertahanan sebagai salah satu pos pengawasan jalur perdagangan. Manifestasi jejak pengaruh kolonial ini merupakan indikasi awal peran wilayah Pulau Buro dalam konteks historiografi masa kolonial. Dalani konteks ini pula, diperoleh ganibaran tentang kronologi dan pola okupasi masa kolonial di Pulau Buro. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada data arkeologi dan data sejarah, sehingga metode analisis deskriptif dan metode analogi sejarah digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk tinggalan arkeologi yang masih dapat diamati di wilayah penelitian berupa: benteng, bekas bangunan gereja, meriam, rumah pejabat Belanda, kantor pemerintahan, bekas dermaga, mata uang Belanda, dan tempayan. Berdasarkan hal itu, dapat diketahui bahwa peran Pulau Buro pada awal okupasi kolonial berkaitan dengan kebijakan monopoli cengkih di Kepulauan Maluku. Demikian pula tentang pola okupasi kolonial, dimana pada periode penguasaan kolonial di Pulau Buro mengalami perkembangan dari Kayeli sebagai pusat pemerintahan awal. Akhirnya pada awal abad ke-20, Rarena pertimbangan lingkungan maka pemerintah Belanda memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi yang memiliki kondisi lingkungan yang lebih baik, yaitu Namlea. Rentang kronologi di kota baru inipun berlangsung sangat singkat yaitu sekitar 40 tahun. Pola Pemukiman Kawasan Perkebunan Karet Masa Hindia Belanda di Bogor Oleh: Libra Hari Inagurasi, Pusat Arkeologi Nasional Tulisan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran, bahwa Bogor merupakan sebuah daerah yang kaya akan potensi perkebunan masa Hindia Belanda. Meskipun demikian belum ada tulisan yang membahas seperti apa dan bagaimanakah pemukiman di kawasan perkebunan karet masa Hindia Belanda di Bogor. Dilatarbelakangi oleh pemikiran tersebut maka tulisan ini bertujuan menampilkan kembali gambaran pola pemukiman di kawasan perkebunan karet melalui jejak-jejak yang ditinggalkan. Tulisan ini disusun melalui tahap penelusuran literatur, survei arkeologi dan lingkungan di lokasi penelitian, analisis, sintesa antara data arkeologi dan data sejarah. Gambaran pola pemukiman di kawasan perkebunan karet di Bogor dapat dibuktikan secara fisik melalui tinggalan­tinggalan arkeologi. Bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai rumah tempat tinggal pemilik kebun, bangunan kantor perkebunan, pengolahan getah karet, dan mausoleum, serta artefak genteng lama dan botol Eropa merupakan petunjuk keberadaan pemukiman di perkebunan karet Hindia Belanda di Bogor. Pola pemukiman perkebunan tersusun atas bangunan tempat tinggal pemilik kebun misalnya landhuis atau kantor perkebunan yang dikelilingi oleh tempat tinggal pegawai dan pekerjanya, tempat pengolahan karet. Adapun mausoleum ditempatkan berjauhan dari pusat pemukiman. Konflik Horisontal Warisan Budaya, Megalitik Situs Gunung Padang Oleh: Bambang Sulistyanto, Pusat Arkeologi Nasional. Kon:flik warisan budaya Situs Gunung Padang merupakan isu barn yang muncul pada 2012, akibat perbedaan dalam memaknai warisan budaya. Bagi kalangan arkeologi, Gunung Padang hanyalah situs megalitik "biasa" yang dikenal dengan istilah punden berundak. Tetapi bagi Tim Terpadu Riset Mandiri, Situs Gunung Padang adalah piramida dan diduga berusia jauh lebih tua dari Piramida Mesir. Kon:flik horisontal Gunung Padang adalah kon:flik perbedaan paradigma arkeologi yang berdampak pada perbedaan pandangan dalam menafsirkan keberadaan tinggalan budaya. Kon:flik tersebut, merupakan kon:flik murni yang terbatas pada ranah kepentingan Ilmu Pengetahuan tanpa ada intervensi oleh berbagai faktor, termasuk faktor politis. Disisi lain arkeologi sudah lama menjadi ajang pergulatan pemikiran para ahli. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena kajian pokok arkeologi bersifat post-facto yang terjadi tidak sekarang, tetapi ratusan bahkan ribuan atau jutaan tahun silam. Pada sisi lain, namanya pengetahuan itu sebenamya bersifat relatif dan subyektif, karena telah dipengaruhi oleh berbagai kepentingan. Oleh karena itu, pengetahuan yang benar atau realitas masa lampau itu tidak ada, yang ada hanyalah pengetahuan masa lampau -versi masyarakat masa kini. Perdebatan dalam ranah ilmu pengetahuan merupakan hal yang biasa. Jika kon:flik Gunung Padang dapat diselesaikan dengan benar, justru akan memberikan manfaat, salah satunya mendorong ke arah perubahan yang lebih baik.
Item Description:http://repositori.kemdikbud.go.id/1294/1/amerta32%281%29.PDF