AMERTA 34 nomor 2

Suryatman dkk. Teknologi Litik di Situs Talimbue, Sulawesi Tenggara: Teknologi Berlanjut dari Masa Pleistosen Akhir Hingga Holosen Temuan litik yang sangat padat di Situs Talimbue di Sulawesi Tenggara menunjukkan sebuah persepektif baru dalam kajian teknologi litik di Sulawesi. Kekosongan informasi...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Authors: -, Suryatman dkk (Author), Alink, Gerrit et al (Author), Triwurjani, Rr (Author), Santiko, Hariani (Author), Susetyo, Sukawati (Author)
Format: Academic Paper
Published: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 2016-06.
Subjects:
Online Access:Get Fulltext
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Description
Summary:Suryatman dkk. Teknologi Litik di Situs Talimbue, Sulawesi Tenggara: Teknologi Berlanjut dari Masa Pleistosen Akhir Hingga Holosen Temuan litik yang sangat padat di Situs Talimbue di Sulawesi Tenggara menunjukkan sebuah persepektif baru dalam kajian teknologi litik di Sulawesi. Kekosongan informasi teknologi litik masa prasejarah di wilayah Sulawesi Tenggara adalah hal yang menarik dikaji dalam penelitian di Situs Talimbue. Artefak litik digunakan dari masa Pleistosen akhir hingga masa Holosen akhir. Penelitian ini akan menguraikan secara detail bagaimana teknologi litik di Situs Talimbue. Artefak batu diserpih yang dianalisis menjadi 3 kategori, yaitu serpih diretus, serpihan dan batu inti. Serpihan kemudian diklasifikasi menjadi 3 kategori, yaitu serpih utuh, serpih rusak dan tatal. Pengukuran indeks retus juga dilakukan bertujuan untuk mengestimasi secara kuantitatif tingkat intensitas retus terhadap serpih yang telah diretus. Hasil penelitian menunjukkan perubahan teknologi artefak batu diserpih terjadi selama masa hunian di Situs Talimbue. Perubahan teknologi terjadi karena adanya proses adaptasi yang disebabkan oleh perubahan lingkungan. Gerrit Alink, Wil Roebroeks, dan Truman Simanjuntak Trinil: Masa lalu, Sekarang dan Masa Depan Sebuah Situs Bersejarah DDusun Trinil menjadi terkenal dengan ditemukannya Pithecanthropus erectus, sekarang Homo erectus, oleh Dubois pada tahun 1891. Setelah ekskavasi Dubois, pada tahun 1907 sebuah ekspedisi besar-besaran dipimpin oleh E. Selenka berlangsung di lokasi yang sama. Selain fosil-fosil sisa manusia, puluhan ribu fosil vertebrata lain dan moluska ditemukan dalam ekskavasi Dubois dan Selenka antara tahun 1891 dan 1907. Koleksi ini sekarang disimpan di Naturalis di Leiden (Belanda) dan di Museum für Naturkunde di Berlin (Jerman). Studi yang berlangsung saat ini terhadap koleksi-koleksi itu mendorong perlunya penelitian baru di lapangan. Tujuannya selain untuk mengetahui potensi situs juga untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam studi koleksi. Parit penggalian Dubois dan ekspedisi Selenka dikontekstualisasikan dalam peta geografi modern berdasarkan data historis, bahan fotografi yang masih Rr. Triwurjani Representasi Nekara pada Beberapa Situs Megalitik di Indonesia: Hubungannya dengan Asia Tenggara Nekara pada awalnya dikenal sebagai alat tabuh banyak ditemukan di Asia Tenggara. Persebarannya yang luas di Asia Tenggara dengan pusatnya di Dongson (Vietnam) sampai ke Indonesia dalam berbagai variasi bentuk serta ukuran menunjukkan bahwa nekara dikenal cukup luas. Penemuan nekara direpresentasikan dalam berbagai bentuk dan teknik pembuatan antara lain ada nekara yang digambarkan pada bukit batu sebagai relief dan arca batu sebagai motif hias; dan ada pula yang dipahat pada lempengan batu yang merupakan salah satu bagian dari dinding suatu kubur batu pada sebaran temuan megalitik Pasemah, Sumatera Selatan. Aspek historis nekara menunjukan bahwa ia tidak sekedar alat tabuh dengan bunyi-bunyian dan berfungsi sakral untuk mendatangkan hujan misalnya, melainkan sebagai salah satu wujud representasi dari kehidupan suatu masyarakat tertentu pada masa tertentu pula. Berkenaan dengan representasi sebagai suatu konsep keterwakilan, maka diperlukan suatu interpretasi agar dapat diungkapkan maknanya, minimal mendekati makna yang sesungguhnya. Metode interpretasi bersifat kualitatif yang digunakan dalam bahasan ini setidaknya dapat menjawab mengapa variasi bentuk nekara tersebut terjadi. Tujuannya adalah untuk mengetahui mengapa gambaran nekara tersebut bervariasi. Hasil penelitian mengungkapkan nekara sebagai benda sakral dapat menjadi identitas dan memori kolektif bagi masyarakat pendukung budaya megalitik Pasemah, dimana kepercayaan kepada arwah leluhur dianut dengan sangat kental. Hariani Santiko Identifikasi Relief Karmawibhangga pada Candi Borobudur Relief yang dipahat pada dinding kaki Candi Borobudur yang sekarang ditutup merupakan adegan-adegan dari naskah Karmawibhangga, yang berjumlah 160 panel ini ditemukan kembali oleh J.W. Ijzerman pada tahun 1885. Sebelum ditutup kembali relief seluruhnya difoto oleh Kassian Cephas pada tahun 1890-1891. Ke-160 relief tersebut terkait dengan ajaran hukum karma, hukum sebab akibat, yang sangat penting dalam ajaran agama Buddha. Agar cerita tersebut dimengerti dengan baik oleh pengunjung, maka ajaran tersebut dikemas dalam cerita kehidupan masyarakat Jawa Kuna pada abad ke- 9-10 Masehi, semasa Candi Borobudur didirikan. Identifikasi relief telah dilakukan oleh N.J. Krom, S. Levi, dan Jan Fountain yang membandingkan adegan-adegan dengan dua naskah Sutra yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina yang dikenal sebagai T 80 dan T 81. Tujuan penulisan ini adalah mencari naskah yang dipergunakan oleh para pemahat relief Karmawibhangga. Metode yang dipakai adalah metode Arkeologi-Sejarah yaitu pendekatan yang menggunakan data artefaktual dan data tekstual berupa naskah dan prasasti. Relief yang dibandingkan dengan episode dalam naskah, diketahui bahwa berbagai episode lebih mendekati isi naskah T 80. ukawati Susetyo Pengaruh Majapahit pada Bangunan Puri Gede Kaba-Kaba, Tabanan Majapahit sebagai kerajaan besar telah mengembangkan pengaruhnya meliputi hampir di seluruh wilayah Indonesia saat ini, yaitu daerah-daerah di Pulau Sumatra di bagian barat dan Maluku di bagian timur, bahkan pengaruhnya meluas sampai ke negara tetangga di Asia Tenggara yang dijalin dalam bentuk persahabatan yang setara (mitra satata). Tinggalan arkeologi dari masa Majapahit yang dapat kita temui adalah bangunan suci, arca-arca, relief, bangunan profan, fragmen/utuh gerabah dan keramik, dan karya-karya sastra. Tinggalan Majapahit tersebut mempunyai ciri-ciri khusus dalam bentuk arsitektur bangunan suci, gaya relief dan arca. Puri Kaba-Kaba merupakan tinggalan Kerajaan Kaba-Kaba di Tabanan, yang rajanya berasal dari Majapahit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apa saja pengaruh Majapahit yang ditemukan pada bangunan puri ini. Selain itu juga ingin mengetahui apakah pembangunan puri sesuai dengan konsep Sanga Mandala, suatu konsep dalam pembangunan sebuah puri. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, dan mendeskripsikan unsur-unsur bangunan puri yang mendapat pengaruh dari Majapahit, juga melakukan wawancara terhadap narasumber. Dari penelitian ini diketahui bahwa pembangunan Puri menerapkan konsep Sanga Mandala, namun telah mengalami pengembangan sesuai kebutuhan. Pengaruh Majapahit yang ditemukan pada bangunan Puri Kaba-Kaba antara lain adalah gapura candi bentar dan paduraksa, arca-arca bergaya tantris, arca kura-kura dan naga, serta arca tokoh berwajah orang asing.
Item Description:http://repositori.kemdikbud.go.id/1303/1/Amerta34%282%29.pdf