PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, apabila dalam suatu perkawinan ternyata salah satu pihak masih terikat perkawinan dengan orang lain ataupun dalam suatu perkawinan terjadi salah sangka terhadap diri suami atau istri maka sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 dan Pasal 27 Unda...

Full description

Saved in:
Bibliographic Details
Main Author: NINGSIH, Kurniati (Author)
Other Authors: SUGIJONO (Contributor), ZULAIKA, Emi (Contributor)
Format: Academic Paper
Published: 2015-12-18T00:34:20Z.
Subjects:
Online Access:Get Fulltext
Tags: Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
Description
Summary:Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa, apabila dalam suatu perkawinan ternyata salah satu pihak masih terikat perkawinan dengan orang lain ataupun dalam suatu perkawinan terjadi salah sangka terhadap diri suami atau istri maka sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Pasal tersebut dipertegas dengan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. Sehingga berdasarkan contoh kasus Putusan Nomor: 110/Pdt.G/2012/PA.Bks. dimana Termohon II telah memalsukan identitasnya sebagai janda ditinggal mati adalah merupakan suatu penipuan, sehingga dalam hal ini perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Dari adanya pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas menimbulkan akibat hukum terhadap status Perkawinan, status anak dan juga terhadap status harta bersama. Terhadap status perkawinan itu sendiri karena perkawinan itu dibatalkan makan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada, sehingga pihak yang bersangkutan yaitu suami-istri yang perkawinannya dibatalkan tidak menyandang status janda atau duda.Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tetap merupakan anak yang sah dari kedua orang tuanya dan berhak untuk dipelihara dan dididik oleh kedua orang tuanya meskipun perkawinan orang tuanya telah putus sebagaimana Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Hal ini didasarkan pada kemanusiaan dan kepentingan anak untuk mendapatkan perlindungan hukum.Dengan demikian, anak-anak yang dilahirkan itu mempunyai status hukum yang jelas dan resmi sebagai anak dari orangtua mereka.Terkait mengenai harta bersama, apabila ada itikat baik dari suami atau istri, maka harta perkawinan akan dibagi dua apabila sebelum melangsungkan perkawinan para pihak tidak membuat perjanjian lain. Apabila dalam pembatalan perkawinan tersebut hanya salah satu pihak saja mempunyai itikat baik maka perkawinan tersebut hanya mempunyai akibat-akibat yang sah dan menguntungkan bagi pihak yang beritikad baik saja, sedangkan bagi pihak yang tidak beritikad baik dapat dibebani biaya, ganti rugi dan bunga.Apabila dalam perkawinan tersebut tidak ada itikat baik dari kedua belah pihak baik dari suami atau istri, maka akibat hukum perkawinan tersebut tidak ada. Bahkan keputusan hakim akan berlaku surut sampai pada saat perkawinan dilangsungkan. Pada perkawinan tersebut tidak terdapat persatuan harta perkawinan.
Item Description:110710101035
http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/67794