MANDINE PANGUCAP: MANTRA USING SEBAGAI PRANATA KULTURAL
Pembunuhan dukun di Banyuwangi tahun 1998, yang juga dikenal sebagai Geger Santet Banyuwangi (Manan, dkk., 2001), menjadi semacam "tonggak" atau "puncak" peristiwa yang meneguhkan image bahwa Banyuwangi - khususnya orang Using- lekat dengan kehidupan supranatural (magic). Peristi...
Saved in:
Main Author: | |
---|---|
Format: | Academic Paper |
Published: |
2016-09-09T06:32:34Z.
|
Subjects: | |
Online Access: | Get Fulltext |
Tags: |
Add Tag
No Tags, Be the first to tag this record!
|
Summary: | Pembunuhan dukun di Banyuwangi tahun 1998, yang juga dikenal sebagai Geger Santet Banyuwangi (Manan, dkk., 2001), menjadi semacam "tonggak" atau "puncak" peristiwa yang meneguhkan image bahwa Banyuwangi - khususnya orang Using- lekat dengan kehidupan supranatural (magic). Peristiwa tersebut menimbulkan kegaduhan sosial, bukan saja pada tingkat lokal atau nasional, melainkan hingga tingkat internasional. Terbukti, hal itu mengusik kegelisahan peneliti asing -di antaranya Jason Brown, Douglas Kammen, dan Nicholas Herriman- untuk menelisik misteri sosial di balik kasus tersebut. Dalam analisisnya, Brown (2000) menyinyalir bahwa pembantaian dukun tersebut merupakan konspirasi elite politik lokal, sedangkan Kammen (2001) lebih memahaminya sebagai akibat dari serangkaian konflik tuan tanah dengan buruh tani. Sementara itu, Herriman (2009) menilai bahwa sebenarnya kasus tersebut lebih sebagai persoalan in-group yang cakupannya hanya terbatas pada tetangga, kerabat, dan kenalan. Namun, kemudian menjadi meluas lantaran lemahnya kendali negara terhadap masyarakat lokal akibat berlangsungya arus reformasi (Herriman, 2013a). Di sisi lain, Herriman (2013b) juga mempertanyakan "lonjakan" pembunuhan tersebut dalam konteks pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). |
---|---|
Item Description: | 978-602-258-382-0 http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/77008 |